Baru-baru ini, saya membaca sebuah cerpen yang sangat bagus dan
menarik. Judulnya "Cinta di Perbatasan", dimuat di majalah Annida edisi
21 tahun 2005. Nama penulisnya Herti.
Cerpen ini bercerita tentang seorang pemuda yang tinggal di perbatasan
Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Kisahnya diawali dengan keputusan si
pemuda untuk keluar dari perusahaannya dan berwiraswasta dengan
berjualan tikar tradisional. Tikar tersebut ia buat sendiri, lalu
dijual di perbatasan.
Tragisnya, produknya ini tidak laku, hanya gara-gara ia berkata jujur,
"Tikar ini buatan saya sendiri". Ternyata, para pembeli beranggapan
bahwa tikar tersebut haruslah buatan daerah tertentu di Malaysia. Jika
dibuat oleh orang Indonesia, maka dianggap tidak asli.
Si pemuda pun mencoba menjual produknya ini di Indonesia, tapi ternyata
prospeknya tidak begitu cerah. ia pun kecewa dan prihatin. Ia telah
bertekad untuk lebih mencintai negerinya. Tapi fakta di lapangan
menunjukkan bahwa hal-hal yang berbau Malaysia lebih disukai oleh
masyarakat Indonesia di perbatasan tersebut. Terlebih, mata uang
ringgit lebih disukai daripada rupiah. Hal-hal yang berbau Indonesia
hanya mereka "nikmati" saat upacara bendera di sekolah.
* * *
Ini adalah sebuah cerita berbau nasionalisme yang sangat menyentuh.
Sebuah tema besar, namun disampaikan dengan cara yang amat sederhana.
Semula, saya menduga penulis cerita ini adalah penduduk yang tinggal di
perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut. Dugaan ini saya percayai,
karena si penulis sepertinya begitu menguasai kondisi dan fenomena
masyarakat setempat.
Namun, hari Minggu kemarin (28 Agustus 2005), ketika hadir di acara FLP
Bekasi, saya kaget ketika tanpa sengaja bertemu dengan si penulis
cerpen ini. Ia bernama Herti, dan ternyata dia adalah penduduk Bekasi.
Saya pun bertanya, "Apakah Anda pernah tinggal di perbatasan tersebut?"
"Tidak pernah," sahutnya.
"Lalu bagaimana caranya, kok Anda sepertinya begitu mengerti tentang kondisi dan femonema masyarakat di sana?"
"Kebetulan saya penah membaca beberapa tulisan mengenai hal itu. Saya
pikir, bagus juga kali ya, kalau fenomena masyarakat yang seperti ini
diangkat menjadi cerpen."
Saya manggut-manggut, merasa kagum pada Herti. Setahu saya, ia masih
pendatang baru di dunia penulisan fiksi. Tapi ia telah melakukan
sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh penulis-penulis lain:
Menulis sebuah cerita berdasarkan referensi tertentu.
Biasanya, referensi digunakan oleh penulis untuk melengkapi tulisannya
yang sudah ada. Artinya, referensi di sini hanya berfungsi sebagai
pelengkap, untuk memperkaya tulisan. Namun Herti melakukan yang
sebaliknya: menjadikan referensi sebagai sumber ide utama. Dan dia
berhasil mengolahnya menjadi sebuah cerpen yang sangat menarik.
* * *
Sepulang dari Bekasi, saya merasa mendapat sebuah pelajaran yang amat
berharga, Ternyata ide itu ada di mana-mana. Tidak hanya dari
pengalaman kita. Ide pun bisa kita dapatkan dari buku-buku, artikel,
majalah, dan sebagainya, yang pernah kita baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar