Kisah Motivasi Garam Dan Telaga
Diposkan oleh
Budiman Sitohang, S.Th
Di sebuah dusun yang sunyi , tenang dan damai, ada seorang kakek bijak
mendiami dusun tersebut, tak ada yang menemani sang kakek tinggal, ia
hanya hidup sebatang kara, namun ia tetap men syukuri kehidupannya ,
maka tak heran beberapa peduduk dusun itu menjuluki si kakek itu dengan
julukan si kakek bijak, karean petuahnya banyak mengandung arti
bagaimana harus bersikap dan berprilaku dalam kehidupan ini.
Pada
suatu pagi, datanglah seorang anak muda dusun yang sedang dirundung
banyak masalah, langkahnya gontai, raut mukanya ruwet, seakan harapan
tak lagi mau berpihak lagi kepadanya, tatap mata kosong, sehingga
guratan secercah harapan tak tampak sedikitpun di wajahnya.
Sosok itu
mengejutkan si kakek bijak yang sendari tadi, asyik dengan menganyam
bambu untuk dibuat peralatan rumah tangga, karena dengan keahliannya itu
ia tetap bertahan untuk hidup, hasil kerja dan jerih payahnya itu ia
jual ke pasar dusun terdekat.
Tanpa membuang waktu pemuda itu
menceritakan semua permasalahnya yang ia hadapi, karena ia percaya si
kakek bijak pasti akan memberikan jalan keluarnya dari permasalahannya
itu. Dan dengan bijaksana si kakek mendengarkan curahan hati pemuda itu
dengan seksama.
Setelah selesai si pemuda itu menceritakan
kesukarannya, si kakek bijak hanya tersenyum sambil menganggukkan
kepalanya, lalu ia berjalan menuju kedapur yang tak jauh dari tempat
duduknya itu, ia mengambil segenggam garam dan segelas air. “anak muda
cobalah kau taburkan garam ini kedalam segelas air yang aku bawa ini dan
aduklah air dan garam ini, “ pinta si kakek bijak , tanpa pikir panjang
lagi si pemuda itu menaburkannya garam kedalam gelas, lalu diaduknya
perlahan-lahan. “Sudah kek ! , aku sudah aduk rata sekali garam dengan
air ini ujar si pemuda itu, “ehmm….,cobalah kau minum larutan itu dan
katakan bagaimana rasanya”, ujar kakek bijak itu.
“Pahit.., Asin
tak karuan rasanya, kek …”, jawab pemuda itu, sambil ia meludah
kesamping tak kuasa menahan rasa yang tak enak dari larutan itu.
Kakek
bijak sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak si pemuda itu berjalan ke
tepi sebuah telaga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kedua orang itu
berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang
tenang.
Kakek itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam
telaga dan dengan sepotong kayu dari rerutuhan pohon, ia membuat
gelombang-gelombang dari adukan-adukan itu yang menciptakan riak-riak
air di telaga. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah”, perintah
kakek bijak. Saat pemuda itu selesai meneguk air telaga, si kakek bijak,
kembali bertanya, “Bagaimana rasanya,?”
“Segar dan nyaman sekali
di tenggorokan ku ini ”, sahut pemuda itu. “Apakah kamu merasakan garam
didalam air itu?”, Tanya Kakek bijak lagi. “Tidak”, jawab si pemuda.
Dengan
kasih sayang dan bijaksannya, kakek bijak menepuk-nepuk punggung pemuda
itu, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga
itu. “Anak muda !, dengarlah, pahitnya kehidupan itu adalah layaknya
segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama dan memang akan tetap selalu sama.”
“Tapi, kepahitan
yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan
segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu
merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang
bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah
hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Kakek bijak itu
kembali memberi nasehat, “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi,
jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang
mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan
kebahagiaan.”
Akhirnya setelah mendapat petuah dari kakek bijak,
si pemuda menyadari kenyataan kehidupan yang memang penuh dengan jalan
yang berliku-liku.
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu, belajar memaknai kehidupan yang ada kala kita di atas
dan adakalanya di bawah bagai roda pedati.
Setiap orang pasti
mengalami keterpurukan dalam kehidupan , namun keterpurukan itu
hendaknya bukan menjadi hambatan dan vonis tak akan dapat mencapai lagi
apa yang kita harapkan dan hendaknya keterpurukan seharus menjadi cambuk
semangat tuk meraih lagi yang terlepas dari harapan kita, Sang Buddha
bersabda : Bangun! Bangkitlah! Untuk apa kau terus bermimpi ? bagaimana
mungkin engkau yang sakit dan tertusuk oleh panah kegagalan tetap
tertidur
Bangun! Bangkitlah! Latihlah dirimu untuk memenangkan
kedamaian, jangan biarkan raja kematian, karena mengetahui engkau dalam
keadaan lengah, menarikmu kedalam dunianya
Jadi pergunakanlah waktu
yang selama kita masih bisa bernafas dalam kehidupan ini lakukan dengan
kesungguhan dan melepas segala belenggu kemalasan dalam diri.
TAFSIRAN 5W + 1H
1. Where ?
dalam cerita tersebut kejadiannya terjadi di rumah sikakek tua di sebuah dusun yang sunyi, tenang, dan damai. dusun itu tidak disebutkan alamatnya yang pasti, dan pada waktu kakek bercerita ia membawa pemuda itu kesebuah telaga di dekat rumahnya.
2. Who ?
seorang kakek tua yang di juluki oleh penduduk sekitar dengan si kakek tua, karena petuahnya menolong banyak orang, dan seorang pemuda yang memilki masalah yang memohon petujuk dan jalan keluar dari masalahnya.
3. When ?
cerita berlangsung pada waktu seorang anak muda dusun yang sedang dirundung
banyak masalah, langkahnya gontai, raut mukanya ruwet, seakan harapan
tak lagi mau berpihak lagi kepadanya, tatap mata kosong, sehingga
guratan secercah harapan tak tampak sedikitpun di wajahnya datang menemui si kakek pada waktu pagi, dimana kakek tersebut lagi bekerja membuat kerajinan tangan dari bambu untuk melanjutkan hidupnya.
4. Why ?
seorang anak muda tersebut meminta kepada sikakek agar dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah hidup yang dihadapinya, dan si kakek berusaha menolongnya.
5. What ?
cerita tersebut menggambarkan bahwa Setiap orang pasti
mengalami keterpurukan dalam kehidupan , namun keterpurukan itu
hendaknya bukan menjadi hambatan dan vonis tak akan dapat mencapai lagi
apa yang kita harapkan dan hendaknya keterpurukan seharus menjadi cambuk
semangat tuk meraih lagi yang terlepas dari harapan kita, Sang Buddha
bersabda : Bangun! Bangkitlah! Untuk apa kau terus bermimpi ? bagaimana
mungkin engkau yang sakit dan tertusuk oleh panah kegagalan tetap
tertidur
Bangun! Bangkitlah! Latihlah dirimu untuk memenangkan
kedamaian, jangan biarkan raja kematian, karena mengetahui engkau dalam
keadaan lengah, menarikmu kedalam dunianya
Jadi pergunakanlah waktu
yang selama kita masih bisa bernafas dalam kehidupan ini lakukan dengan
kesungguhan dan melepas segala belenggu kemalasan dalam diri.
6. How ?
cerita tersebut dimulai dari seorang anak muda yang ingin keluar dari masalah hidup yang berat, namun sikakek berusaha menolongnya dengan sebuah ilustrasi dengan mengambil garam, air, dan membawa pemuda tersebut ke sebuah telaga untuk melihat perbedaan yang terjadi.
si kakek menggenggam geram tersebut dan mencampurkan garam tersebut ke dalam sebuah gelas yang berisi air, dan pemuda tersebut disuruh untuk minim, dan memang rasanya sangat pahit, dan asin. akan tetapi, si kakek membawa pemuda tersebut ke sebuah telaga dan mencampurkan garam ke dalam telaga, dan pemuda itu di suruh untuk meminum air tersebut, namun yang dirasakan bukan seperti air dalam gelas, namun yang dirasakan adalah air yang segar dan enak yang membuat bahagia.
dari cerita tersebut dapat diambil nilai kehidupan pahitnya kehidupan itu adalah layaknya
segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu
adalah sama dan memang akan tetap selalu sama.”
“Tapi, kepahitan
yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan
segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kita
merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang
bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dada kita menerima semuanya. Luaskanlah
hati kita untuk menampung setiap kepahitan itu.”
“Hati kita, adalah wadah itu. Perasaan kita adalah
tempat itu. Kalbu kita, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi,
jangan jadikan hati kita itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang
mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan
kebahagiaan.”
Akhirnya setelah mendapat petuah dari kakek bijak,
si pemuda menyadari kenyataan kehidupan yang memang penuh dengan jalan
yang berliku-liku. Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu, belajar memaknai kehidupan yang ada kala kita di atas
dan adakalanya di bawah bagai roda pedati.
semoga dengan mendapat kejelasan dari cerita tersebut, hidup setiap kita dapat berubah seperti seorang anak muda yang berubah dari jalan hidupnya yang merasa banyak masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar